Ini ada transkrip pembicaraan ibu-ibu di sebuah arisan :
“Jeng, baca nih. Mosok anak presiden kita jualan martabak. Ih, gak banget deh...”
“Ah, pencitraan kali...?”
“Bener ini Jeng. Baca deh. Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi berjualan martabak kaki lima...”
“Bodoh banget ya dia...
Adik gubernur di daerahku aja ‘jualan’ proyek APBD.”
“Iya, padahal apa susahnya dia minta fee dari proyek-proyek APBN? Atau minta saham ke Freeport kek, ke Petral kek. Terus, bisa tiap hari tuh kerjaan dia jalan-jalan ke luar negeri sama artis, nonton balap formula 1...”
“Anak presiden yang aneh...”
Sebenarnya, gak ada yang aneh kok anak presiden berjualan martabak. Kecuali kalau si anak presiden itu berjualan martabaknya di tengah laut. Mau jualan sama lumba-lumba? Hehe...
Yang aneh tuh justru budaya permisivisme masyarakat akan bisnis anak pejabat yang berkaitan langsung dengan jabatan bapaknya. Di tahun 2014 saja, ada anak menteri yang tersangkut kasus penggelembungan harga proyek videotron di kementerian yang dipimpin ayahnya. Masyarakat hanya meributkan kasus tersebut setelah terjadi tindak korupsi, bukan pada cara berbisnis si anak tersebut.
Bisnis anak pejabat yang terkait erat dengan wilayah kekuasaan bapaknya seperti kasus di atas sangat sulit untuk dipisahkan dengan jabatan bapaknya. Si bapak sebagai pejabat, memiliki kekuasaan dan akses informasi yang potensial disalahgunakan untuk kepentingan bisnis keluarga atau kelompoknya. Siapa bisa menjamin bahwa pejabat A, yang secara formal tidak memiliki hubungan dengan bisnis keluarganya, tak akan menggunakan kekuasaannya demi keuntungan bisnis keluarganya itu?
Kembali ke 'si anak presiden yang aneh' tadi dan “Adik gubernur di daerahku aja ‘jualan’ proyek APBD.”
Sudah bukan rahasia umum kalau seorang kontraktor atau vendor barang, dalam rangka memenangkan tender proyek berkolusi dengan keluarga atau kroni pejabat. Kontraktor atau vendor ‘membeli’ proyek APBD atau APBN dari anak atau keluarga pejabat dengan ‘harga yang sudah ditentukan’ guna dimenangkan dalam tender.
Gibran, si anak presiden yang aneh tadi, sebetulnya punya akses untuk melakukan itu di tengah budaya permisif masyarakat kita itu. Tapi dia tak melakukannya. Si anak presiden itu malah berjualan martabak, sebuah bisnis yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan jabatan bapaknya, orang nomor satu di republik ini.
Saya melihat hal ini sebagai sebuah kesuksesan Presiden Jokowi dalam mendidik anaknya. Hal kecil yang kadang luput dari perhatian rakyat. Rakyat hanya mau melihat sepak terjang pemimpinnya dari hal-hal yang besar dan spektakuler saja, lupa kalau sesuatu yang besar itu dimulai dari sebuah pertanyaan kecil: “bagaimana bisa memberikan pendidikan kepada 250 juta rakyat, sedang mendidik anaknya aja gak becus?”
Pertanyaan kecil yang seharusnya menjadi tamparan untuk pejabat yang gemar memperkaya diri, anak dan keluarganya dengan menghalalkan segala cara. Walau cara itu sesungguhnya adalah mengajari anak dan keluarganya untuk menjadi seorang pencuri.
Semoga ‘si anak presiden yang aneh’ dan bapaknya ini mampu memberi harapan baru kepada seluruh rakyat tentang pentingnya Indonesia Bersih; bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
Ini ada transkrip
pembicaraan ibu-ibu di sebuah arisan:
“Jeng, baca nih. Mosok anak presiden kita jualan martabak. Ih, gak
banget deh...”
“Ah, pencitraan kali...?”
“Bener ini Jeng. Baca deh. Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden
Jokowi berjualan martabak kaki lima...”
“Bodoh banget ya dia... Adik gubernur di daerahku aja ‘jualan’ proyek
APBD.”
“Iya, padahal apa susahnya dia minta fee dari proyek-proyek APBN? Atau
minta saham ke Freeport kek, ke Petral kek. Terus, bisa tiap hari tuh
kerjaan dia jalan-jalan ke luar negeri sama artis, nonton balap formula
1...”
“Anak presiden yang aneh...”
Sebenarnya, gak ada yang aneh kok anak presiden berjualan martabak.
Kecuali kalau si anak presiden itu berjualan martabaknya di tengah laut.
Mau jualan sama lumba-lumba? Hehe...
Yang aneh tuh justru budaya permisivisme masyarakat akan bisnis anak
pejabat yang berkaitan langsung dengan jabatan bapaknya. Di tahun 2014
saja, ada anak menteri yang tersangkut kasus penggelembungan harga
proyek videotron di kementerian yang dipimpin ayahnya. Masyarakat hanya
meributkan kasus tersebut setelah terjadi tindak korupsi, bukan pada
cara berbisnis si anak tersebut.
Bisnis anak pejabat yang terkait erat dengan wilayah kekuasaan bapaknya
seperti kasus di atas sangat sulit untuk dipisahkan dengan jabatan
bapaknya. Si bapak sebagai pejabat, memiliki kekuasaan dan akses
informasi yang potensial disalahgunakan untuk kepentingan bisnis
keluarga atau kelompoknya. Siapa bisa menjamin bahwa pejabat A, yang
secara formal tidak memiliki hubungan dengan bisnis keluarganya, tak
akan menggunakan kekuasaannya demi keuntungan bisnis keluarganya itu?
Kembali ke 'si anak presiden yang aneh' tadi dan “Adik gubernur di
daerahku aja ‘jualan’ proyek APBD.”
Sudah bukan rahasia umum kalau seorang kontraktor atau vendor barang,
dalam rangka memenangkan tender proyek berkolusi dengan keluarga atau
kroni pejabat. Kontraktor atau vendor ‘membeli’ proyek APBD atau APBN
dari anak atau keluarga pejabat dengan ‘harga yang sudah ditentukan’
guna dimenangkan dalam tender.
Gibran, si anak presiden yang aneh tadi, sebetulnya punya akses untuk
melakukan itu di tengah budaya permisif masyarakat kita itu. Tapi dia
tak melakukannya. Si anak presiden itu malah berjualan martabak, sebuah
bisnis yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan jabatan bapaknya,
orang nomor satu di republik ini.
Saya melihat hal ini sebagai sebuah kesuksesan Presiden Jokowi dalam
mendidik anaknya. Hal kecil yang kadang luput dari perhatian rakyat.
Rakyat hanya mau melihat sepak terjang pemimpinnya dari hal-hal yang
besar dan spektakuler saja, lupa kalau sesuatu yang besar itu dimulai
dari sebuah pertanyaan kecil: “bagaimana bisa memberikan pendidikan
kepada 250 juta rakyat, sedang mendidik anaknya aja gak becus?”
Pertanyaan kecil yang seharusnya menjadi tamparan untuk pejabat yang
gemar memperkaya diri, anak dan keluarganya dengan menghalalkan segala
cara. Walau cara itu sesungguhnya adalah mengajari anak dan keluarganya
untuk menjadi seorang pencuri.
Semoga ‘si anak presiden yang aneh’ dan bapaknya ini mampu memberi
harapan baru kepada seluruh rakyat tentang pentingnya Indonesia Bersih;
bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/laurairawati/anak-presiden-kok-jualan-martabak-adik-gubernur-di-daerahku-aja-jualan-proyek-apbd_568aff4e16937372048b4580
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/laurairawati/anak-presiden-kok-jualan-martabak-adik-gubernur-di-daerahku-aja-jualan-proyek-apbd_568aff4e16937372048b4580
0 comments:
POST A COMMENT