Puluhan truk peti kemas antre di gerbang
Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta,
28 Juli 2015. Kegiatan distribusi barang dan peti kemas dari dan ke
Pelabuhan Tanjung Priok lumpuh akibat aksi mogok nasional pekerja JICT.
Jakarta
- Pekerja pelabuhan yang tergabung dalam Serikat Pekerja PT Jakarta
International Container Terminal (SP-JICT) mengancam melakukan aksi
industrial berupa mogok kerja pada 12 Januari 2016 yang berpotensi
melumpuhkan Pelabuhan Tanjung Priok.
Ketua Umum SP JICT Nova Sofyan Hakim mengatakan rencana aksi tersebut
dilakukan karena alasan tiga hal yakni masih adanya pelanggaran kerja
bersama (PKB) yang dilakukan oleh manajemen secara berulang, tidak
dijalankannya rekomendasi Pansus Pelindo II DPR-RI serta adanya upaya
pemberangusan serikat pekerja.
Pemberitahuan rencana aksi mogok pada 12 Januari 2016 itu, juga sudah disampaikan oleh pengurus SP JICT kepada Kepala Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Utara dan Direksi PT JICT melalui surat SPJICT No:PBT/055/XII/2015 tanggal 30 Desember 2015.
Pemberitahuan rencana aksi mogok pada 12 Januari 2016 itu, juga sudah disampaikan oleh pengurus SP JICT kepada Kepala Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Utara dan Direksi PT JICT melalui surat SPJICT No:PBT/055/XII/2015 tanggal 30 Desember 2015.
“Mogok kerja akan dilakukan 12 Januari 2016 mulai pukul 00.01 s/d 23.59 WIB,” jelasnya.
Surat pemberitahuan mogok kerja SPJICT itu juga ditembuskan kepada Presiden RI, Ketua DPR RI,Pimpinan Pansus Pelindo II DPR-RI, Sejumlah Menteri terkait, serta asosiasi pengguna jasa di Pelabuhan Tanjung Priok.
Ketua DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Seluruh Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Widijanto mengatakan, asosiasinya sudah menerima pemberitahuan rencana mogok pekerja JICT itu.
Surat pemberitahuan mogok kerja SPJICT itu juga ditembuskan kepada Presiden RI, Ketua DPR RI,Pimpinan Pansus Pelindo II DPR-RI, Sejumlah Menteri terkait, serta asosiasi pengguna jasa di Pelabuhan Tanjung Priok.
Ketua DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Seluruh Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Widijanto mengatakan, asosiasinya sudah menerima pemberitahuan rencana mogok pekerja JICT itu.
Dia mengatakan pelaku usaha menyesalkan masih adanya rencana mogok
kerja di pelabuhan dan hal ini menandakan pemerintah dan pihak terkait
lainnya tidak serius menyelesaikan persoalan yang terjadi pada terminal
peti kemas tersibuk di Indonesia itu.
“Kalau pelabuhan mogok otomatis pelaku usaha yang mengalami kerugian karena berpengaruh pada kegiatan logistik,”ujarnya kepada Bisnis (7 Januari 2015).
Hal senada diutarakan Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan. Menurut Gemilang, mogok kerja di pelabuhan akan menyebabkan delivery barang terhambat dan tentunya akan memengaruhi kebutuhan bahan baku bagi industri.
“Kami berharap masalah yang masih terjadi di pelabuhan Priok saat ini bisa segera diselesaikan. Semua pihak harus mengedepankan kepentingan ekonomi nasional,” ujarnya.
“Kalau pelabuhan mogok otomatis pelaku usaha yang mengalami kerugian karena berpengaruh pada kegiatan logistik,”ujarnya kepada Bisnis (7 Januari 2015).
Hal senada diutarakan Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan. Menurut Gemilang, mogok kerja di pelabuhan akan menyebabkan delivery barang terhambat dan tentunya akan memengaruhi kebutuhan bahan baku bagi industri.
“Kami berharap masalah yang masih terjadi di pelabuhan Priok saat ini bisa segera diselesaikan. Semua pihak harus mengedepankan kepentingan ekonomi nasional,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Indonesia Port Watch (IPW) Syaiful Hasan,
menegaskan isu rencana mogok yang akan dilakukan oleh karyawan JICT
harus disikapi serius oleh pemerintah.
“JICT menangani 70% distribusi barang Jabodetabek, sehingga jika sampai mogok terjadi maka dipastikan akan melumpuhkan kegiatan ekonomi dan membawa dampak kerugian yang luas bagi masyarakat,” ujarnya.
Syaiful mengungkapkan, akar permasalahnnya sesungguhnya ada pada kesewenangan manajemen JICT yang melakukan PHK terhadap 38 karyawan outsourcing dan mutasi serta pemberian surat peringatan kepada karyawan yang dilakukan tanpa prosedur dengan dalih pekerja-pekerja tersebut ikut menolak perpanjangan kontrak JICT.
Berkaca kejadian pada 28 Juli 2014, kata dia, dimana akibat pemecatan 2 pegawai JICT oleh Dirut Pelindo II RJ Lino sehingga berimbas kepada terhentinya aktivitas JICT selama 9 jam serta berdampak terhadap kerugian mencapai puluhan miliar rupiah. Jangan sampai kerugian tersebut harus ditanggung kembali hanya karena hubungan industrial yang harusnya bisa diselesaikan tanpa merugikan banyak pihak dan mengganggu kegiatan ekonomi nasional.
“Dalam konteks hal perburuhan, sangat dipahami jika aksi mogok adalah hak karyawan JICT dan merupakan dampak akibat gagalnya perundingan serta dilindungi Undang-Undang 13 tahun 2013. Untuk itu ada baiknya kita melihat kebelakang apa yang sesungguhnya tidak tercapai antara karyawan dengan manajemen JICT,” tuturnya.
Syaiful justru mensinyalir potensi kegaduhan akibat mogok JICT terjadi karena masih adanya pengaruh mantan Dirut Pelindo II RJ Lino kepada jajaran manajemen JICT untuk mereduksi gerakan penolakan perpanjangan JICT.
“JICT menangani 70% distribusi barang Jabodetabek, sehingga jika sampai mogok terjadi maka dipastikan akan melumpuhkan kegiatan ekonomi dan membawa dampak kerugian yang luas bagi masyarakat,” ujarnya.
Syaiful mengungkapkan, akar permasalahnnya sesungguhnya ada pada kesewenangan manajemen JICT yang melakukan PHK terhadap 38 karyawan outsourcing dan mutasi serta pemberian surat peringatan kepada karyawan yang dilakukan tanpa prosedur dengan dalih pekerja-pekerja tersebut ikut menolak perpanjangan kontrak JICT.
Berkaca kejadian pada 28 Juli 2014, kata dia, dimana akibat pemecatan 2 pegawai JICT oleh Dirut Pelindo II RJ Lino sehingga berimbas kepada terhentinya aktivitas JICT selama 9 jam serta berdampak terhadap kerugian mencapai puluhan miliar rupiah. Jangan sampai kerugian tersebut harus ditanggung kembali hanya karena hubungan industrial yang harusnya bisa diselesaikan tanpa merugikan banyak pihak dan mengganggu kegiatan ekonomi nasional.
“Dalam konteks hal perburuhan, sangat dipahami jika aksi mogok adalah hak karyawan JICT dan merupakan dampak akibat gagalnya perundingan serta dilindungi Undang-Undang 13 tahun 2013. Untuk itu ada baiknya kita melihat kebelakang apa yang sesungguhnya tidak tercapai antara karyawan dengan manajemen JICT,” tuturnya.
Syaiful justru mensinyalir potensi kegaduhan akibat mogok JICT terjadi karena masih adanya pengaruh mantan Dirut Pelindo II RJ Lino kepada jajaran manajemen JICT untuk mereduksi gerakan penolakan perpanjangan JICT.
“Manajemen JICT harus bijak melihat bahwa Lino sudah tidak lagi
menjabat sebagai nahkoda Pelindo II. Sehingga perselisihan industrial
yang meruncing akibat isu perpanjangan JICT tidak seharusnya membawa
dampak kerugian bagi aktivitas ekspor impor nasional,”ujar dia.
0 comments:
POST A COMMENT