Jakarta - Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memuji langkah Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang telah menetapkan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost
Lino sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan barang. Namun, dia
meminta agar KPK tak hanya fokus pada pengungkapan kasus lainnya
seperti perpanjangan kontrak JICT dan New Priok.
"KPK harus berani menelusuri kasus yang lebih besar, yaitu perpanjangan kontrak JICT dan New Priok, meskipun mantan komisioner KPK ikut mendorong mega proyek tersebut, Erry Riyana (Ketua Oversight Commitee yang dibentuk Dirut Pelindo II). Perpanjangan kontrak JICT tersebut juga sempat dipersoalkan oleh Komisaris Utama Pelindo II yang baru, mantan komisioner KPK, Tumpak Hatorangan," kata Rieke dalam siaran persnya di Jakarta, Jumat (18/12).
Rieke juga mendorong KPK agar berani mengungkap indikasi keterlibatan para pejabat negara. Apalagi, tersiar kabar adanya petinggi negeri ini yang ikut mengintervensi pengungkapan kasus Pelindo II yang akhirnya berbuah pencopotan Jenderal bintang tiga di Polri.
"Yang tidak kalah pentingnya, saya mendukung KPK dan siap bekerja sama dengan KPK, untuk mengungkap dugaan melanggar dan melawan konstitusi, keputusan Mahkamah Konstitusi, UU BUMN, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU KKN dan peraturan perundangan lainnya yang dilakukan Meneg BUMN, Rini Soemarno, terutama dalam perpanjangan kontrak JICT, yang berpotensi merugikan negara hingga triliunan rupiah," tandasnya.
Sebelumnya, KPK resmi menetapkan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino sebagai tersangka kasus pengadaan crane. Penetapan itu dilakukan setelah lembaga antirasuah tersebut menemukan dua alat bukti untuk menjeratnya.
"Dalam pengembangan penyidikan Tindak Pidana Korupsi terkait Quay Container Crane di Pelindo II tahun 2010, KPK menemukan alat bukti yang cukup untuk menetapkan RJL sebagai tersangka," ujar Plh Kabiro Humas, Yuyuk Andriati di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (18/12).
Atas perbuatannya, KPK menjerat Lino dengan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
"KPK harus berani menelusuri kasus yang lebih besar, yaitu perpanjangan kontrak JICT dan New Priok, meskipun mantan komisioner KPK ikut mendorong mega proyek tersebut, Erry Riyana (Ketua Oversight Commitee yang dibentuk Dirut Pelindo II). Perpanjangan kontrak JICT tersebut juga sempat dipersoalkan oleh Komisaris Utama Pelindo II yang baru, mantan komisioner KPK, Tumpak Hatorangan," kata Rieke dalam siaran persnya di Jakarta, Jumat (18/12).
Rieke juga mendorong KPK agar berani mengungkap indikasi keterlibatan para pejabat negara. Apalagi, tersiar kabar adanya petinggi negeri ini yang ikut mengintervensi pengungkapan kasus Pelindo II yang akhirnya berbuah pencopotan Jenderal bintang tiga di Polri.
"Yang tidak kalah pentingnya, saya mendukung KPK dan siap bekerja sama dengan KPK, untuk mengungkap dugaan melanggar dan melawan konstitusi, keputusan Mahkamah Konstitusi, UU BUMN, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU KKN dan peraturan perundangan lainnya yang dilakukan Meneg BUMN, Rini Soemarno, terutama dalam perpanjangan kontrak JICT, yang berpotensi merugikan negara hingga triliunan rupiah," tandasnya.
Sebelumnya, KPK resmi menetapkan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino sebagai tersangka kasus pengadaan crane. Penetapan itu dilakukan setelah lembaga antirasuah tersebut menemukan dua alat bukti untuk menjeratnya.
"Dalam pengembangan penyidikan Tindak Pidana Korupsi terkait Quay Container Crane di Pelindo II tahun 2010, KPK menemukan alat bukti yang cukup untuk menetapkan RJL sebagai tersangka," ujar Plh Kabiro Humas, Yuyuk Andriati di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (18/12).
Atas perbuatannya, KPK menjerat Lino dengan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
0 comments:
POST A COMMENT