Sambut MEA, Menristek Dikti siapkan kurikulum dwi bahasa.
Jakarta
- Siap atau tidak, Masyarakat Ekonomi ASEAN telah efektif berlaku tahun
ini. Pemerintah telah mengidentifikasi beberapa sektor industri yang
rawan terkena dampak buruk dalam persaingan bebas se-Asia Tenggara ini.
“Sektor yang paling rentan terpengaruh oleh MEA itu daya saing
industrinya perlu ditingkatkan,” kata Direktur Jenderal Kerjasama
Perdagangan Internasional Bachrul Chairi, Jumat 8 Januari 2016.
Beberapa sektor itu, menurut Bachrul, adalah industri tekstil, alas kaki, elektronik, baja, kulit dan beberapa produk pertanian. “Ini studinya dilakukan oleh Kementerian Perindustrian,” ujarnya.
Sebaliknya, beberapa sektor industri lain yang daya saingnya terbilang kuat untuk ekspansi ke negara lain adalah industri kimia dasar, makanan dan minuman serta otomotif.
Langkah pemerintah untuk mendorong daya saing industri di dalam negeri di antaranya adalah melalui deregulasi dan debirokratisasi dalam beberapa paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo. “Beberapa paket kebijakan itu memang dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing termasuk dengan melancarkan arus bahan baku impor,” kata Bachrul.
Selain itu, menurut Bachrul, gencarnya pembangunan infrastruktur secara tidak langsung juga dinilai akan meningkatkan daya saing industri karena mendorong kelancaran arus orang dan barang. Yang juga penting adalah program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt. “Salah satu problem terbesar bagi industri manufaktur Indonesia adalah kekurangan listrik,” ujarnya.
Hal ini diakui oleh Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat. Sebab listrik, kalaupun ada, harganya kurang bersaing. “Listrik kita lebih mahal dari Vietnam. Padahal urusan tekstil, mereka pesaing kita” ujarnya, Kamis 7 Januari 2016.
Perbandingannya, rata-rata tarif listrik industri besar di Singapura yakni Rp 1.689 per kilo watt hour (kWh). Selanjutnya, Filipina Rp 1.551 kWh, Thailand Rp 1.270 per kWh dan Malaysia Rp 1.066 per kWh. Tarif listrik Indonesia Rp 1.011 per kWh dan Vietnam Rp 777 per kWh.
Tak hanya itu, masalah juga yang umum dihadapi industri Indonesia adalah upah minimum. Hampir setiap tahun, negosiasi kenaikannya menimbulkan ricuh antara buruh dan pengusaha. “Tak jarang mereka anarkis, ini menakutkan investor,” kata Ade.
Beberapa sektor itu, menurut Bachrul, adalah industri tekstil, alas kaki, elektronik, baja, kulit dan beberapa produk pertanian. “Ini studinya dilakukan oleh Kementerian Perindustrian,” ujarnya.
Sebaliknya, beberapa sektor industri lain yang daya saingnya terbilang kuat untuk ekspansi ke negara lain adalah industri kimia dasar, makanan dan minuman serta otomotif.
Langkah pemerintah untuk mendorong daya saing industri di dalam negeri di antaranya adalah melalui deregulasi dan debirokratisasi dalam beberapa paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo. “Beberapa paket kebijakan itu memang dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing termasuk dengan melancarkan arus bahan baku impor,” kata Bachrul.
Selain itu, menurut Bachrul, gencarnya pembangunan infrastruktur secara tidak langsung juga dinilai akan meningkatkan daya saing industri karena mendorong kelancaran arus orang dan barang. Yang juga penting adalah program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt. “Salah satu problem terbesar bagi industri manufaktur Indonesia adalah kekurangan listrik,” ujarnya.
Hal ini diakui oleh Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat. Sebab listrik, kalaupun ada, harganya kurang bersaing. “Listrik kita lebih mahal dari Vietnam. Padahal urusan tekstil, mereka pesaing kita” ujarnya, Kamis 7 Januari 2016.
Perbandingannya, rata-rata tarif listrik industri besar di Singapura yakni Rp 1.689 per kilo watt hour (kWh). Selanjutnya, Filipina Rp 1.551 kWh, Thailand Rp 1.270 per kWh dan Malaysia Rp 1.066 per kWh. Tarif listrik Indonesia Rp 1.011 per kWh dan Vietnam Rp 777 per kWh.
Tak hanya itu, masalah juga yang umum dihadapi industri Indonesia adalah upah minimum. Hampir setiap tahun, negosiasi kenaikannya menimbulkan ricuh antara buruh dan pengusaha. “Tak jarang mereka anarkis, ini menakutkan investor,” kata Ade.
0 comments:
POST A COMMENT