Menteri Kesehatan, Nila Djuwita Moeloek,
melakukan sidak alat pendeteksi virus Ebola di Bandara Soekarno Hatta,
Tangerang, Banten, 3 November 2014. Sidak tersebut dilakukan untuk
memperketat masuknya virus ebola ke Indonesia melalui bandara dan
pelabuhan.
Tulungagung
- Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek meradang soal tudingan harga obat
di Indonesia termahal di ASEAN. Dia mengklaim harga obat generik sudah
30 persen di bawah ketentuan WHO meski masih terganjal obat paten.
Menteri Nila menjelaskan pengajuan dan pembelian obat sudah dilakukan secara prosedural dan terbuka. Daftar obat yang akan dibeli mula-mula dicek terlebih dulu oleh formulatorium nasional untuk dianalisa keamanannya oleh ahli-ahli farmasi. Selanjutnya obat tersebut dimasukkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk dianalisa harga dan kualitasnya. Dan dipastikan harga obat 30 persen lebih murah dari standar WHO.
“Ini yang akan kita bongkar dan sampaikan kepada presiden,” kata Nila saat melakukan kunjungan kerja di RSUD Dr Iskak Tulungagung, Jumat 8 Januari 2016.
Seluruh daftar obat yang telah dibeli pemerintah ini juga dimasukkan dalam e-catalog lengkap dengan paket penyakitnya. Saat ini terdapat kurang lebih 1.000 daftar obat yang terpampang di katalog yang direview setiap tahunnya.
Untuk obat paten ataupun obat generik yang bermerek, Nina mengakui hingga saat ini pemerintah belum bisa menentukan besaran harga jualnya. Hal itu menjadi keputusan sepihak farmasi yang memproduksi di luar negeri. Ini lantaran farmasi dalam negeri belum mampu membuat obat-obatan paten tertentu seperti obat kanker yang masih mengandalkan perusahaan farmasi asing. Namun dia berjanji akan berupaya melakukan penawaran agar harga obat tersebut bisa dijangkau masyarakat Indonesia.
Sebelumnya Ketua Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Syarkawi Rauf mengatakan harga obat di Indonesia merupakan salah satu yang paling tinggi di Asia Tenggara. Menurut dia tidak adanya regulasi mengenai harga eceran tertinggi baik untuk obat generik maupun paten menjadi pemicu kemahalan ini. “Bahkan jika dibandingkan dengan Malaysia, kita masih jauh lebih mahal," kata Syarkawi usai bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta bulan lalu.
Dia menganjurkan adanya kebijakan soal batasan harga eceran tertinggi, seperti penjualan obat generik bermerek yang tak lebih dari dua kali harga generiknya. Regulasi ini untuk menghindari industri obat menetapkan harganya sendiri.
Menteri Nila menjelaskan pengajuan dan pembelian obat sudah dilakukan secara prosedural dan terbuka. Daftar obat yang akan dibeli mula-mula dicek terlebih dulu oleh formulatorium nasional untuk dianalisa keamanannya oleh ahli-ahli farmasi. Selanjutnya obat tersebut dimasukkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk dianalisa harga dan kualitasnya. Dan dipastikan harga obat 30 persen lebih murah dari standar WHO.
“Ini yang akan kita bongkar dan sampaikan kepada presiden,” kata Nila saat melakukan kunjungan kerja di RSUD Dr Iskak Tulungagung, Jumat 8 Januari 2016.
Seluruh daftar obat yang telah dibeli pemerintah ini juga dimasukkan dalam e-catalog lengkap dengan paket penyakitnya. Saat ini terdapat kurang lebih 1.000 daftar obat yang terpampang di katalog yang direview setiap tahunnya.
Untuk obat paten ataupun obat generik yang bermerek, Nina mengakui hingga saat ini pemerintah belum bisa menentukan besaran harga jualnya. Hal itu menjadi keputusan sepihak farmasi yang memproduksi di luar negeri. Ini lantaran farmasi dalam negeri belum mampu membuat obat-obatan paten tertentu seperti obat kanker yang masih mengandalkan perusahaan farmasi asing. Namun dia berjanji akan berupaya melakukan penawaran agar harga obat tersebut bisa dijangkau masyarakat Indonesia.
Sebelumnya Ketua Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Syarkawi Rauf mengatakan harga obat di Indonesia merupakan salah satu yang paling tinggi di Asia Tenggara. Menurut dia tidak adanya regulasi mengenai harga eceran tertinggi baik untuk obat generik maupun paten menjadi pemicu kemahalan ini. “Bahkan jika dibandingkan dengan Malaysia, kita masih jauh lebih mahal," kata Syarkawi usai bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta bulan lalu.
Dia menganjurkan adanya kebijakan soal batasan harga eceran tertinggi, seperti penjualan obat generik bermerek yang tak lebih dari dua kali harga generiknya. Regulasi ini untuk menghindari industri obat menetapkan harganya sendiri.
0 comments:
POST A COMMENT