JAKARTA - Presiden Joko Widodo telah melakukan
groundbreaking atau peletakan batu pertama tanda dimulainya pembangunan
proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Peresmian dilakukan di kawasan kebun teh Madalawangi Maswati, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (21/1) siang.
Proyek ini akan dikerjakan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China
(KCIC) sebagai badan usaha perkeretaapian yang 60 persen sahamnya
dikuasai oleh PT Pilar Sunergi BUMN Indonesia (PSBI) dan 40 persen oleh
China Railway International (CRI).
PSBI sendiri merupakan perusahaan gabungan perusahaan-perusahaan
pelat merah Indonesia yang diketuai oleh PT Wijaya Karya (WIKA).
Kebutuhan dana pembangunan kereta cepat ini diperkirakan mencapai Rp
70 triliun hingga Rp 80 triliun. Seluruh proyek ini tidak akan
menggunakan dana APBN, dan tidak ada jaminan negara.
Proyek ini banyak dinilai menjadi proyek tergesa-gesa oleh Presiden Jokowi. Hal ini dibuktikan dengan belum adanya izin pembangunan dari Kementerian Perhubungan atas diresmikannya kereta cepat.
Pembangunan proyek tersebut juga tak melibatkan uang negara. Alasannya, kereta cepat ini bukan kebutuhan utama.
Pemerintah lebih baik mengalokasikan anggaran untuk infrastruktur lain dibanding membiayai kereta cepat. Namun, Presiden Jokowi sudah memutuskan kereta cepat Jakarta-Bandung harus dibangun asalkan tanpa APBN.
Izin pun belum dikeluarkan semua termasuk izin teknis. Akan tetapi,
Presiden Jokowi sudah berani untuk meresmikan proyek tersebut. Berikut
bukti kereta cepat tak layak dibangun seperti :
1. DPR : KA cepat Jakarta-Surabaya lebih penting
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
menilai pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung
belum layak. Harusnya, pemerintah lebih memprioritaskan kereta cepat Jakarta- Surabaya.
"Jakarta ini masih ada tol melalui Cipularang,
melalui kereta api biasa, dan jalan tol Jakarta - Sukabumi yang ke Bandung.
Yang lebih penting Jakarta - Surabaya," ujar Refrizal di Warung Daun,
Cikini, Jakarta, Sabtu (23/1).
Selain itu, pemerintah lebih baik fokus dalam
mengatasi kemacetan yang ada di Kota Bandung. Sehingga, warga Jakarta yang
ingin berlibur ke Bandung merasa nyaman.
"Saya kalau ke Bandung 1,5 jam saya sampai
Bandung kalau berangkat pagi. Masalahnya itu bukan Jakarta-Bandung tapi
macetnya, harusnya masalah di Bandung dulu diselesaikan," jelas dia.
Dia mengkhawatirkan pembangunan proyek kereta cepat
ini akan mangkrak seperti proyek-proyek pemerintah lainnya. Alasannya, aspek
Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) masih belum tuntas dalam kesiapannya
walaupun pemerintah sudah memberikan izin Amdal.
"Kita khawatir begitu batu pertama sudah
diletakkan, batu keduanya tidak dilanjutkan. Sama kayak di Tol Sumatera, batu
pertamanya sudah tapi batu keduanya tidak jalan-jalan," tegas Refrizal.
Politisi PKS ini juga menilai tak adanya sinergi
antara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dengan Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan.
Kendati demikian, dia tetap mendukung upaya pemerintah
dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Yang terpenting, pembangunan di
Indonesia jelas dan tidak merugikan rakyat.
"Bisnis yang panjang adalah bisnis yang saling
menguntungkan. Apapun pembangunan di Indonesia ini, kita harus untung, rakyat
kita harus untung," pungkas dia.
2. KA cepat jadi skandal pengadaan
proyek
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Dadang Ramdhan
menyebut proyek kereta cepat (High Speed Train) Jakarta-Bandung
sebagai skandal baru setelah kasus 'Papa minta saham'. Dia menyebut banyak
hal-hal yang dilanggar dan luput dari perhatian pemerintah.
"Jadi ini saya melihatnya skandal baru, skandal
baru dalam pengadaan proyek infrastruktur, kalau ada papa minta saham, kalau
ini 'papa minta cepat'. Satu level skandal karena luar biasa, regulasi di
langgar, daerah ditekan, lingkungan mau dirusak, kemudian rakyat dijual,"
ujar Dadang di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (23/1).
Dadang mengklaim pihaknya telah melakukan survei ke
beberapa lokasi yang berkaitan dengan proyek kereta cepat. Dari hasil survei
tersebut, kata dia, mayoritas masyarakat saat ini tidak membutuhkan kereta
cepat Jakarta-Bandung.
"Jadi begini, kereta cepat ini bukan kebutuhan,
saya melakukan survei kecil-kecilan soal kereta cepat, warga Bandung tidak
butuh, warga Purwakarta tidak butuh, kemudian warga biasa di Jakarta juga tidak
butuh, yang butuh ini sebenarnya siapa? Dengan moda transport yang ada dengan
kereta api biasa dan juga dengan bisa atau travel saya kira bagi warga Bandung
sudah cukup untuk ke Jakarta," jelas dia.
Dadang menambahkan Peraturan Presiden nomor 107 tahun
2015 tentang percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat
antara Jakarta dan Bandung begitu dipaksakan.
"Ini jelas-jelas sangat dipaksakan, presiden
senang bikin perpres, mau (waduk) Jatigede cepat (pakai) Perpres, mau kereta
cepat dibangun perpres lagi dan banyak perpres lain," tegas Dadang.
Selain itu, kata Dadang, pemerintah tidak bisa
menyamakan daerah di Pulau Jawa seperti kota Beijing atau Tokyo. Alasannya,
struktur tanah dan kondisi lingkungan masih tidak dimungkinkan untuk dilintasi
kereta cepat.
"Pulau Jawa dengan Beijing, Tokyo, itu beda. Kita
memiliki struktur morfogeologi yang memang sangat rentan, bayangkan nanti akan
menerobos terowongan dengan kecepatan 150 km per jam, 30 menit sampai Bandung,
bagaimana dampak yang akan terjadi?," pungkas dia.
3. Jakarta-Bandung bisa gunakan
transportasi lain
Pemerintah dinilai terlalu boros dalam proyek
pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung.
Padahal, pemerintah bisa mengoptimalkan kereta api sekarang dengan cara
membenahi infrastruktur sekarang.
"Kereta sekarang bisa lari dengan kecepatan 160
km per jam. Jakarta - Surabaya 5 jam itu
sampai, itu biayanya cuma Rp 10 triliun. Dua tahun selesai. Itu kemampuan APBN
bisa," ujar Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagyo di Warung Daun,
Cikini, Jakarta, Sabtu (23/1).
Menurut dia, pemerintah punya cara untuk meningkatkan
kualitas dan pelayanan kereta api biasa. Salah satunya dengan membenahi
perlintasan sebidang dengan membangun flyover atau underpass.
"Kemudian electronic digital. Kemudian bantalan
diperbaiki. Seperti itu," kata dia.
Lebih lanjut, Agus menegaskan jika pemerintah
membangun kereta cepat Jakarta-Surabaya hanya akan menelan biaya yang jauh
lebih besar. Selain itu, nantinya masih akan banyak pilihan mode transportasi
yang juga menawarkan efisiensi waktu dan harga seperti pesawat.
"Meskipun tadi dibilang Jakarta-Surabaya itu
perlu tapi saya bilang itu tidak perlu. Jakarta-Surabaya itu kan sekitar 700 km
ngapain kita invest kalau cuma 150 km kita invest katakan Rp 80 triliun,
Surabaya itu 700 km bisa kira-kira butuh Rp 300 triliun untuk membangun kereta
cepat," pungkas dia.
4. KA cepat bisa ditunda hingga 5
tahun
Pemerintah dinilai terlalu buru-buru dalam Pembangunan
proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Padahal, proyek ini bisa ditunda hingga beberapa tahun ke depan.
Anggota Komisi VI DPR RI Refrizal mengatakan, proyek
kereta cepat belum matang dan tidak terlalu penting. Sehingga, tak masalah jika
pembangunan ditunda 5 atau 10 tahun ke depan.
"Bukan kita menghentikan, dievaluasi mungkin
ditunda 5 atau 10 tahun baru kita mulai, kita gunakan dulu buat prioritas yang
lain," ujar dia dalam Polemik Sindo Trijaya di Jakarta, Sabtu (23/1).
Menurut dia, pemerintah lebih baik fokus pada proyek
jalan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua ketimbang ribut dengan kereta
cepat Jakarta-Bandung. Untuk menempuh Bandung, masyarakat masih bisa
menggunakan moda transportasi lain seperti kereta api biasa atau bus.
"Jadi belum prioritaslah. Mungkin di atas 5 tahun
yang akan datang lah. Silahkan aja letakkan batu pertama tapi batu ke dua kita
tunda 5 sampai 10 tahun yang akan datang," pungkas dia.
5. Ada pembangkang dalam kabinet
Jokowi-JK
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai ada pembantu
presiden yang menjadi pembangkang dalam kabinet Joko Widodo dan Jusuf Kalla ( Jokowi-JK).
Alasannya, ada menteri yang ngotot proyek kereta cepat Jakarta-Bandung untuk
segera dibangun.
Awalnya, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang
sejatinya tidak disetujui oleh Jokowi.
Namun, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meminta proyek tersebut untuk
direalisasikan sehingga Presiden Jokowi setuju untuk dibangun.
"Kalau ada pembantu yang melawan majikan itu
pembantu yang tidak tahu diri. Menteri itu pembantu karena dipilih oleh
presiden. Seandainya pembantu tidak seide dengan dia, rapatkan di kabinet.
Apabila ada menteri yang menentang keputusan di rapat kabinet itu tidak tahu
diri," ujar Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) Epyardi Asda
di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (23/1).
Kendati demikian, Epyardi tidak mempermasalahkan
kebebasan berpendapat yang dilakukan oleh menteri-menteri Jokowi. Hanya saja,
dia meminta agar para menteri ini tidak membuat gaduh di kabinet dan fokus
mengurusi kepentingan rakyat.
"Saat ini di dalam kebebasan boleh. Tetapi sesama
menteri apalagi menteri dan presiden berantem, bagaimana mereka mengurusi
rakyat? Saya yakin pak Jokowi ini tegas, tapi banyak yang berdebat dengan
beliau bahkan menentang," pungkas dia.
0 comments:
POST A COMMENT